Wednesday, January 1, 2014

Cinta Pertama


Kemaren malam tahun baruan, saya gak ada pergi jalan-jalan. Lagi bikin cerpen yang bertemakan Cinta Pertama. Soalnya, saya lagi ikut lomba gitu dan deadline pengumpulan cerpen itu tanggal 31 Desember 2013. Buru-buru banget nulisnya, bayangkan, nulis cerpen itu dalam waktu dua jam untuk 6 halaman! The Power of Kepepet.


Nih, saya mau berbagi gimana cerpen bertemakan Cinta Pertama. Hope you like it :))
________________________________________________________________________

Cinta Pertama: Kimia dan Kamu

Ketika itu aku masih malu. Sekedar memuja dan merahasiakan. Membayangkanmu di penghujung malam sebelum aku menutup mata. Ya benar, aku jatuh cinta. Senyummu berbeda, bukan untukku, apalagi mengarah kepadaku. Aku hanya melihatnya, dan aku suka. Sebelumnya aku belum pernah jatuh cinta. Aku hanya sekedar suka. Dengan melihatmu, aku mungkin sedikit memahami, bahwa suka itu bagian dari cinta. Perkenalan kita sepihak. Aku tahu kamu, tidak begitu denganmu padaku. Inilah mengagumi, hanya bisa dipendam. Nekat dan tekadku belum ada. Menyatakannya padamu mungkin bagian terburuk dari bunuh diri yang pernah aku pikir.

Siapa aku. Kalimat yang menghalangiku untuk maju, sekedar tegur sapa bagian awal dari aku mendekatimu. Aku bukan siapa. Mengenal aku olehmu belum tentu, aku rasa. Kita sering berpapasan di lorong sekolah. Aku melirik, dan kau tidak. Kau hanya menunduk, entahlah aku tak tahu apa yang kau lihat dan pikirkan. Khayalku, mungkin sejenak kau bertanya dalam hati, siapa aku. Aku pengagummu.

Namamu Hana Afifah. Aku tahu, begitulah seorang pemuja akan mencari tahu bagaimana caranya. Aku hanya menunggu kesempatan, momen dimana kita berkenalan dan saling tahu. Dan semoga Tuhan mendengar doaku. Karena cinta tak perlu dipaksa, biarkan dia berjalan dengan sendirinya. Aku hanya bisa menahan, mungkin bukan sekarang, atau juga mungkin saja tidak untuk kedepannya. Bisa saja kita dipertemukan kemudian bersatu. Dan bisa juga kita dipertemukan lalu pergi seperti angin lalu. Atau bahkan kita takkan dipertemukan dan tak bisa bersatu. Bayangan memberi gambaran. Dari 3 kemungkinan jalan yang ditentukan, hanya satu bahagia, dan dua lagi berujung pada kesedihan.

Kemudian waktu menjawab. Tuhan mendengar doaku. Ketika itu aku dipilih untuk latihan persiapan olimpiade kimia SMA tingkat kota. Aku mewakili kelas 2 dan kau mewakili. Begitu tahu, aku sangat senang. Ternyata kita memiliki ketertarikan yang sama. Kimia. Semoga dengan itu mendekatkan kita.

Ini namanya gairah. Memacu aku untuk tidak bolos sekalipun dalam pelatihan. Datang setepat waktu mungkin, setidaknya bisa duduk disampingmu. Tidak tidak, duduk di belakangmu atau duduk dimana aku masih bisa memandangmu walau sedikit, itu sudah cukup. Ketika guru memanggil namaku dalam daftar absen, semoga kau tahu, semoga kau hafal namaku dan pada saatnya, namaku terukir indah di hatimu.

Otakku berpikir cepat, menyerap semua apa yang aku pelajari. Dengan begitu, ketika aku mengerti, aku bisa menunjukkanmu dan mengajarimu. Dan kemudian kau kagum denganku, begitu juga aku kagum denganmu terlebih dahulu. Semoga dengan pelatihan ini, kita mengerti kimia, dan juga diantara kita berdua mendapatkan chemistry. Cinta seperti katalase, yang memacuku untuk berpikir dua hal. Kimia dan kamu.

Tanyalah padaku, tanya. Tanya apa yang tak kau mengerti. Biarkan aku mengajarimu sesuatu. Sesuatu yang aku mengerti dan sesuatu yang mendekatkan kita. Menjadikan ini sebagai batu loncatan untuk mengetahui siapa kamu, dan apa saja tentangmu. Seperti aku mencari jawaban soal kimia diantara banyaknya rumus yang ada. Mulailah dari yang terkecil. Atom, molekul, dan senyawa. Begitu juga dengan nama, kegemaran, dan perasaan. Seperti halnya unsur, yang melambangkan individu. Aku berharap ikatan kita seperti ikatan kovalen. Saling memiliki. Tidak dengan ikatan ion. Yang sepihak memberi. Seperti aku saat ini, mengagumimu. Kemudian aku kosong.

Kesempatan kembali datang. Saat diskusi kelompok, kita berdua satu. Iya satu kelompok. Kita terlihat canggung masing-masing. Memulai dengan perkenalan. Aku memperkenalkan diri terlebih dahulu.

“Hai, Hana ya. Aku Enggri. Sudah tahu dari absen sih. Hehehe.”

“Iya. Salam kenal ya.” Balas dia kemudian senyum.

Perkenalan singkat ini takkan aku lupakan. Akhirnya aku melihat senyum dengan dekat, dan senyummu itu untukku. Betapa bahagianya, akhirnya mimpi itu jadi nyata!

Lalu kami menjalani diskusi. Saling bertukar pikiran. Waktu sepertinya hanya milik kami berdua. Bagiku, cinta itu tak membuat dunia serasa milik berdua. Dunia ini milik orang banyak. Ketika jatuh cinta, kita punya dunia tersendiri untuk bercengkrama dan bahagia. Mataku tidak bosan memandangimu. Dengan begini, jatuh cintaku semakin dalam. Aku tak perduli, apakah kamu punya rasa yang sama atau tidak. Saat ini aku hanya bisa menikmati.

Cinta itu candu. Membuat pelakunya berkhayal tak kenal waktu. Membayangkan dan memikirkan sesorang. Entah peduli dia juga cinta atau tidak. Hati tak mengenal itu. Yang ia rasa hanyalah berbunga-bunga, dan kemungkinan baik dan buruk akan selalu ada. Jadi, berharaplah yang terbaik.

Sepertinya saya harus berterimakasih kepada guru pembimbing, yang menetapkan kalau pelatihan selanjutnya akan dalam bentuk kelompok tersebut. Tentunya, aku bersama Hana Afifah kembali bersama, untuk jangka waktu tertentu.

Kita semakin lama semakin dekat. Rasa maluku perlahan memudar. Aku sudah mulai terbiasa denganmu, terbiasa disamping. Aku tak canggung lagi menyapamu walau sekedar berpapasan, ataupun berbagi cerita kehidupan. Kita dekat, dan aku mau lebih dari saat ini. Aku tak mau kita akrab hanya karena ini. Aku ingin kita mengenal lebih di luar. Ya setidaknya, bertukar kabar ketika kita tak bertemu.

“Eh, boleh minta nomor handphone-nya? Ya bisa saja ada sesuatu yang kita perlu entah itu kamu atau aku.” tanyaku.

“Boleh. Ini nomorku. 081xxxxxxxx. Coba miscall, biar aku simpan juga nomormu.”

“Baiklah.”

Lalu aku menyimpan nomormu, dan akan ku buat spesial di handphone-ku. Semoga kamu juga begitu.

Semenjak itu, kita mulai berbalas pesan singkat, entah itu menanyakan kabar, atau sekedar basa-basi menceritakan keseharian di sekolah. Ya aku mulai memberi perhatian denganmu. Kamu juga begitu. Dan itu aku harap kamu tulis. Semoga pesan singkatku mengisi harimu, bukan dengan terpaksa.

Aku merasa semakin dekat denganmu. Aku merasakan kau juga membuka untukku. Semakin kita dekat dengan seseorang, semakin kita khawatir dengan seseorang itu. Sepanjang hari aku terus memikirkanmu. Kamu sedang apa dan bagaimana. Mendoakanmu baik-baik saja. Kepada angin, sampaikan salamku padanya, bahwa aku merindukannya.

Mendekati hari perlombaan, kita semakin banyak berdiskusi, tentunya semakin banyak waktu bersama. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat, hanya berdua, belajar bersama.

“Hana, aku mau mengatakan sesuatu. Aku mau mengajakmu ke Wonder Café besok. Belajar, soalnya perhelatan olimpiadenya tinggal menghitung hari.” tanyaku.

“Tumben aku diajak. Ada gerangan apa, bang?” ledek dia dengan tertawa kecil.

“Ya hitung-hitung kencanlah.” Balasku mulai bercanda dengan dia.

“Hmmm… cerdik juga ya. Hahahaha. Baiklah. Besok ya. Kabari aja lagi via telpon atau pesan singkat.”

“Siap, Bos!”

Kalau hati bisa meledak, mungkin saat itu isi dadaku bercucuran keluar karena tidak sanggupnya menahan rasa senang. Bagaimana tidak, apa yang kuimpikan selama ini, satu per satu mulai terwujud. Ya, aku kembali dekat dengannya. Kali ini berdua, di café, dengan suasana berbeda tentunya.

Di café itu, kita duduk berhadapan, menatap bola mata masing-masing. Disini kita akan lebih mendengarkan, lebih luas dalam bercerita. Kemudian kita mengerjakan soal-soal kimia. Hangatnya saat itu antara aku dengan dia mengalahkan hangatnya kopi. Tapi aku harap hangat kami berdua tak seperti kopi. Hangat diawal, dan perlahan memudar. Aku harap kita bisa seperti ini lagi. Didekatmu itu canduku. Aku terjebak dalam kenyamanan bersamamu.

Dan hari dimulainya olimpiade pun tiba. Aku gugup, begitu juga dengan dia. Ini pengalaman pertamaku dalam mengikuti olimpiade. Aku berharap untuk hasilnya tidak mengecewakan dengan persiapan menjelang olimpiade. Dan tentunya, aku ingin berjuang keras dan sebaik-baiknya, terlebih karena ingin membuat dia bangga. Aku pun sendiri gugup, melihat banyak peserta dari sekolah lain. Tapi aku tak mau menampakkan rasa gugup, dan aku terus menyemangati Hana. Sama seperti aku, ini pertama kalinya dia mengikuti olimpiade. Aku terus memotivasinya. Aku melakukan semampu yang aku bisa, agar dia tahu kalau aku aka nada untuknya.

Detik-detik mulainya olimpiade, kami saling mendoakan. Kami berbeda ruangan. Sebelum menuju ruangan masing-masing,  kami bro fist terlebih dahulu. Ya, mungkin dengan ini, bagian dari motivasi diri.

Dan akhirnya, olimpiade telah selesai. Aku keluar ruangan, lalu menuju ruangan Hana. Aku menunggunya keluar. Ketika dia keluar, aku melihat raut mukanya yang sedikit kecewa. Aku bertanya,

“Kenapa sedih gitu? Apakah soalnya susah?”

“Iya. Ada yang salah. Sedikit ceroboh.” Jawab dia dengan nada yang lemas.

“Sudah. Jangan dipikirin lagi. Berdoa aja supaya dapat hasil yang baik. Lain kali harus lebih teliti. Yang terpenting, percaya sama kemampuan sendiri. Aku yakin kamu pasti bisa.”

Dia hanya membalas dengan senyuman.

“Memikirkan soal tadi, membuat aku lapar. Ayuk ke kantin.” ajakku.

“Ayuk.”

Raut kecewa di mukanya sudah hilang.

Bagaimanapun juga, aku akan terus menghibur dan menyemangatimu. Aku tak mau kau larut dalam kesedihan. Hanya ini yang bisa aku tunjukkan, kalau aku mencintai kamu.

Tidak terasa berjalannya waktu, dulunya aku yang hanya sekedar mengagumimu dari jauh, sekarang aku dekat denganmu. Kau adalah orang spesial saat ini. Kau pengisi hariku. Kau pemakan suntukku, kau pelawak dari segala kesedihanku. Semoga aku juga begitu denganmu. Kita semakin mesra, dan aku belum bisa menyatakan perasaan kepadanya. Aku belum siapa menerima segala kemungkinan yang ada. Bisa saja aku hanya berlebih rasa percaya diri kalau kamu cinta aku, dan ternyata tidak sama sekali.

Kembali memendam perasaan, belum ada keberanian untuk mengungkapkan. Beginilah akibatnya, semakin menyayangi seseorang, semakin takut kita akan kehilangan seseorang tersebut. Andaikan menyatakan perasaan itu semudah menanyakan apa kabarmu. Andaikan menyatakan perasaan tak penuh beban seperti kamu memberikan senyuman.

Tuhan berkata lain. Aku mendapatkan kabar kalau dia baru saja berpacaran dengan orang lain. Simpang siur kabar yang aku dengar adalah dia pacaran dengan abang dari sahabatnya. Hati serasa runtuh. Pikirang campur aduk. Aku yakin ini mimpi. Sesorang tolong pukul. Kemudian aku menjernihkan pikiran. Ini nyata. Ini beneran adanya. Air mata jatuh. Tidak, aku tidak menangis. Aku hanya sedih, aku berlinang air mata tanpa suara.

Kau menelponku, memberi ‘kata perpisahan’. Kau mengucapkan terimakasih kepadaku, atas bimbingan dan perhatian selama ini.

“Terima kasih telah membimbingku dan memberi perhatian. Aku nyaman berada di dekatmu.” Katanya dengan nada lirih.

“Tidak, aku yang seharusnya berterima kasih karena hadirmu telah memberi warna pada hidupku. Kenapa harus seperti ini? Kita kan bisa berteman seperti biasa.”

“Tidak. Jangan hubungi aku lagi, aku mohon. Aku telah mempunya seorang yang bakal memberiku perhatian dan kasih. Jangan buang-buang kasih sayangmu. Aku yakin kamu bakal mendapatkan sosok yang baik, lebih dari aku.”

Aku diam. Sejenak percakapan di telepon itu hening. Aku belum bisa menerima. Aku dan dia saling memikirkan jawaban selanjutnya dalam keheningan.

“Baiklah, untuk apa juga aku memaksa. Karena aku bukan siapa-siapa. Aku cuma ingin mau menyampaikan apa yang selama ini belum mampu aku utarakan. Hana, aku mencintaimu.”

“Aku meneleponmu, memberi kabar seperti ini agar kamu tahu dan tidak terlalu sakit menerima aku seperti ini. Aku punya alasan sendiri kenapa aku bisa seperti ini. Dan itu tak perlu kamu tahu. Dan aku juga tahu perasaanmu. Karena aku juga mencintaimu. Selamat malam.”

Kemudian Hana menutup telepon itu. Aku pasrah, inilah kenyataan yang harus aku terima. Tuhan punya rencana tersendiri untuk aku jalani. Tidak dengan dia, mungkin dengan yang lain yang lebih pantas dan lebih baik, atau bisa saja aku akan bersama Hana kembali kedepannya, kembali dipertemukan lagi. Bisa saja.

Satu hal yang aku akhirnya ketahui dari percakapan di telepon itu adalah, Hana juga mencintai aku. Inilah cinta pertamaku. Tidak berakhir bagia memang, namun itu punya tempat tersendiri di hati. Cinta pertama memang beda rasanya dibanding cinta kedua, ketiga dan seterusnya. Cinta pertama akan selalu diingat dan dikenang entah itu, sedih, bahagia atau absurd.

Tak lama kejadian itu, kami dipertemukan lagi pada momen yang berbeda. Kali ini dalam acara pengumuman olimpiade. Saat pengumuman pemenang, aku mendapat juara dua dan Hana juara tiga. Aku dan dia menuju panggung untuk mengambil trofi. Dan pada saat foto bersama para juara, aku disampingnya. Diam, hening tanpa kata. Menatap ke arah kamera. Tidak apa-apa. Kami tidak seperti yang dulu, kami sudah berbeda. Yang aku tahu, aku pernah jatuh cinta dengannya. Begitu juga dengan dia yang pernah jatuh cinta denganku. Tidak, aku bukan pernah jatuh cinta dengannya, tapi aku masih cinta dengan dia. Apakah dia masih?

0 comments:

Post a Comment