Kita telah lama kenal. Dan aku telah
mengisi hari-harimu ketika sendiri. Perjumpaan kita hanya bisa dihitung jari.
Namun, itu bukan halanganku untuk menyayangi. Disetiap percakapan kita di social
chat, akan menjadi bukti tertulis bahwa keseriusan tak mengenal tempat. Dan juga,
sangat berterimakasih dari aku telah menjadi teman dekatku dalam bercerita.
Disetiap curahan hati, kekesalan, dan
kebahagiaan yang telah diceritakan kepada aku, akan menjadi memori tersendiri yang kusimpan pada sudut pikiran
tertentu. Tak akan dilupakan. Memberi perhatian semampuku, membuatmu nyaman
dengan jeda kata-kata yang dipisahkan oleh spasi, dari bait hati tentunya.
Banyak dari kata-kata itu tersirat
makna, dan aku tak berharap juga untuk kamu mengerti. Karena aku sadar,
keberadaanku belum pasti. Tetapi bathin ini berbisik, bahwa kau juga menyimpan
rasa. Kita saling enggan mengungkapkan, mungkin. Terlalu kaku dalam kedekatan.
Memang sakit terlalu lama memendam. Perasaan
seakan sirna diterbangkan waktu. Dan pada akhirnya, jarak adalah pemisah. Mengucapkan
kata perpisahan namun terselip makna sebuah ketidakterimaan. Bahwa dengan ini
aku dan kamu “tak lagi dekat”.
Keberanianku tentang debu, menempel
disebuah dinding kokoh, namun terlalu lemah untuk mendobrak. Dan biarkan Tuhan
yang menunjukkan kuasanya, memberi kesempatan dan waktu, untuk aku ungkapkan. Dimana
aku mulai yakin, denganmu, bahwa kamu adalah wanita yang ditetapkan Tuhan untuk
aku temani. Di hari spesialmu, aku akan datang, entah itu cepat atau lambat,
kita akan kembali bertemu, mencampakkan keengganan sebelum merasa hilang,
dimana kita tak kuat lagi untuk menggenggam.