Kau
berbeda dari wanita lain. Ada hal yang tersembunyi yang mampu aku lihat dalam
dirimu. Sebuah keasyikan bercengkrama tanpa habisnya. Banyak cerita yang kita
buat, banyak canda tawa yang kita ujar, dan banyak ungkapan perasaan yang tersisip
dalam percakapan. Tapi wanita itu semu bagiku. Mungkin sekarang ini kau ada
untukku, besok mungkin saja tidak. Wanita itu bagai belut, meski telah kau
kenali segala lekuk liku tubuhnya, sukmanya selalu luput dari genggaman.
Dulu
kau ada. Kau selalu menanyakan waktu, membicarakan kemungkinan bertemu. Setidaknya
ada yang kita semai setelah melepas rindu dalam aktivitas penuh se. Kau mempertanyakan
hari pada cermin, kenapa ada penggantian siang malam tanpa aku dengan kebersamaan.
Kenapa ada selasa kalau esok akan datang rabu. Kenapa kau merasa jauh pada
jarak yang disana, kalau ada yang mendekatkan diri yaitu rindu. Kau gambaran
wanita diatas lembaran sketsaku. Menjadikan aku pelukis yang hanya bermodalkan
perasaan. Aku hanya sebuah gelas kosong dengan kau sebagi air penyejuk datang
mengisi kekosongan itu. Aku ingin menjadi pena. Membuat tulisan di setiap
lembarnya. Tak peduli apa yang salah dalam setiap kata-kata yang menyusunnya.
Kau
terlalu menggelora saat kita bersama. Terlalu banyak yang diucapkan dan terlalu
banyak yang dirasa. Kau tak kuat hanya sekedar meraba dan menghayalkan, kau
ingin bertemu, kau ingin berdua, dan kau ingin tetap bersama. Aku sebuah
pelangi, berwarna setelah kau hujani dengan cinta. Tapi rindu terlalu besar
diantara kita. Selalu menanyakan aku pada setiap kesempatannya. Kenapa menunggu
petang yang akan berganti malam. Sabar menanti dan tak harus bersedih, karena
esok akan kembali.
Waktu
terus berjalan dan menjadikanmu diri yang dingin. Tak sehangat dulu, saat kita
berapi-api dan menghamburkan gelombang aura merah ceria. Kau sekarang abu-abu. Dulu
aku ingat ketika kamu sedang tidak percaya, menanyakan apakah kita akan tetap
bersama. Aku berjanji. Aku denganmu, bibir ini jujur dalam berkata cinta dan
mengutarakan rasa. Tapi apa, kau perlahan melepas genggaman. Kau berjalan dengan
sepatu putih ke sebuah titik hitam yang entah berapa jauh jaraknya. Kau memberikan
kelam saat meninggalkan. Kau membiarkan air mata ini berlinang dan mengering
disudut mata. Kau tak membolehkan aku menangis karena kelingking kita masih
bertatut erat. Kau hanya berbisik, “biarkan aku bebas. Aku hanya ingin
bernostalgia pada saat aku sendiri. Dulu. Saat aku belum mengenalmu. Aku hanya
ingin tahu batas jenuhku, saat itulah aku mengerti kau adalah yang aku cari
untuk penghanyut bosanku dan penjaga dalam kantukku”. Kemudian kau pergi.
Wanita,
kau telah jauh meninggalkan. Hawa keberadaan hilang kelam dalam bayang-bayang
penantian. Aku hanya sendiri, dihembus angin dan hanyut dalam aliran sehingga
aku tenggelam dalam memikirkan sosokmu di ruang kosong yang kusebut kenangan.