Ketika
waktu mempertemukan. Ketika perjumpaan berlanjut ke hal yang tak direncanakan.
Bahkan berpikir sesuatu yang kecilpun belum ada sebelumnya. Hanya sebatas
bertemu, kenalan dan berteman. Di café itu adalah tempat yang menjadi cerita
awal dari setiap deretan bahagia yang akan dirasakan. Kau menjabat tanganku,
terasa halus telapak tanganmu, dari bibir mungil merahmu dengan halus kau
menyebut namamu. Ya, namamu Fransiska. Senyummu dan ucapanmu bertanya balik
siapa namaku. Dengan gagah bercanda aku menjawab, “I’m your man”.
Kita
mulai berbicara tentang kesibukan kita masing-masing. Tapi memandang matamu pun
aku grogi. Aku sibuk membagi penglihatanku antara laptop dan matamu. Mata yang
indah. Seandainya aku bisa menatap lebih lama berdua di tepi pantai yang
pasirnya warna merah muda. Alangkah indahnya hidup ini, dan aku seperti
mempunyai bidadari . seperti surga? Tidak. Bahkan menghayal seperti surga itu
aku tak mampu. Menikmati senja bersamamu dan melalui malam berdua denganmu
adalah salah satu keindahan surga yang aku dapatkan di dunia.
Apa
yang kutunggu menjelang larut malam adalah mendengarmu cerita dengan perantara
telepon genggam. Bercerita sampai kau lelah dan menguap akan rasa kantuk yang
didera. Kau menutup percakapan kita dengan ucapat “selamat tidur”, “have a nice
dream”, “Jangan tidur larut malam”. Yap, seketika kau menutup telepon, aku
langsung menutup mata menyambut hari baru bersamamu.
Kita
mengarungi satu bulan dalam perkenalan. Dua bulan dalam pendekatan. 3 bulan
seterusnya bahkan kita tidak tahu kalau kita adalah pasangan yang ditakdirkan
Tuhan. Aku merasa “wah” dalam kerjaku. Aku sibuk dengan kegiatanku sebagai
penulis, kau sibuk dengan kerjaan kantormu sebagai sekretaris. Tapi kita saling
ingin bertemu, kita mampu mengatur waktu setidaknya melepas penat dan
rindu. Tapi ada satu hal yang meracau
pikiranku yaitu apakah kau dekat hanya tidak padaku seorang. Itu menganggu. Aku
tak mau didahuli dan tak rela melepasmu. Bagaimana dan kapan aku bisa
menyatakan perasaan. Aku berharap kamu tahu apa yang aku pikirkan dan perasaan.
Perasaan
ini mendesakku. Rasa takut kehilanganmu mendorongku maju. Dengan gugup dan malu
aku menyatakan cinta di cafe saat kita pertama kali bertemu. Aku berkata,
“Ketika 4 mata saling bertemu, saat itulah 2 hati saling membuat janji agar 4 kaki akan melangkah bersama dengan 2 tangan menggenggam menjadi 1 impian. Biarkan aku menjadi kekasihmu, agar kamu tahu seperti apa rasa sayang dan tidak mau kehilangan itu?”
Kamu
terdiam untuk sementara waktu. Mungkin ini sebuah hal yang tak kamu pikir
sebelumnya. Kamu diam. Aku dingin, tubuhku dingin, jantung ini terus memacu,
urat nadiku mengeras. Pikiranku juga mengeras, menebak apa yang kamu pikirkan setelah
aku mengucapkan kalimat yang menurutku gila itu. Dan desiran angin AC cafe itu
membuat rambutmu terbang dan mengangguk iya. Iya. Kamu menerima perasaanku. Entah
apa harus aku lakukan. Lompat lompat salto di cafe itu, belum cukup
mengungkapkan rasa gembira itu. Mau teriak pun, takut ditendang buang sama
pelayan cafe itu. Cuma satu kata yang bisa dirangkai bibir ini “Terima kasih
cinta.”
Andai
kau tahu apa isi pikiranku saat ini. Mungkin kamu akan melebur bersama gejolak
asmara ini. Kamu itu duniaku. Ketika kamu tak hadir didepanku. Aku tak bisa
melihat seperti apa dunia. Oh beginilah menjadi orang buta. Buta dikarenakan
asmara.
0 comments:
Post a Comment