Tak ada yang salah ketika aku mengatakan “ aku
mengagumimu”. Itu hanya permulaan dari percikan-percikan perasaan yang mulai
tumbuh. Kau sudah cukup sempurna, ketika aku melihatmu, yang aku rasa ada dua:
adem di mata dan nyaman di hati. Berterimakasihlah engkau kepada Tuhan. Karena
Dia telah menyihir mataku untuk melihat dan mengagumi sebagian kecil
ciptaan-Nya yang ia hadapkan padaku saat ini.
Dan aku bukanlah seorang peramal, terlalu jauh
membayangkan apakah kita pasangan yang ditakdirkan. Terlalu cepat mengandai
seperti itu. Terlebih penting dari itu, bagaimana aku bisa menjadi bagian
penting dari hidupmu. Ah hanya kebiasaanku, yang terlalu menuntut dan banyak
harap, padahal belum tentu hati ini terbalaskan juga.
Rentang waktu tertentu adalah masa saat kau mulai
membiasakan kehadiranku. Disana juga keberadaanku akan seperti penting olehmu
atau hanya penganggu saja. Sebuah perawalan akan buruk jika terlalu
berekspektasi tinggi. Demikianpun kata hati, yang belum bisa ditebak walau
beberapa kali kita mencoba untuk mengerti.
Karena pada nantinya, akan ada waktu untuk
menyatakan perasaan. Setelah sekian panjang, aku menunjukkan dan berkorban,
mempersembahkan hadirku yang akan berarti di setiap penggal harimu, dan seraya
berkata,
“Hai wanita, biarkan aku singgah dan menetap
sementara di hatimu. Dan tugasmu menilai aku, apakah aku bisa menjadi
pendampingmu kelaknya.”
Yang aku bayangkan adalah ketika kau menjawabnya,
penuh malu dengan muka memerah, serta senyum tipis yang teruntai di bibir
tipismu.
“Sekian waktu kau menunjukkan aku dengan
kepedulianmu. Sekarang waktuku memperdulikan ungkapan perasaanmu. Aku tak mudah
untuk mempercayai. Dari sekian janji, maukah kau memberikan bukti, bahwa aku
adalah wanita yang kau cari?”
aku bisa menjawabnya,
“Demi kau, bahwa apa yang aku lakukan itu tulus dari
hati. Sadar akan batasan diriku, aku tak pernah mengharapkan lebih dari ini. Sekedar
mengungkapkan perasaan, dan itu adalah kosakata yang aku tuangkan dari sekian
banyak rasa sayang aku tunjukkan. Dan kenapa aku tidak terus mengatakan janji
padamu, sedangkan dalam hatiku sendiri aku bisa menjagamu dan memberimu bukti?
Karena apa yang terlihat dan apa yang tidak terlihat, yang bisa menilainya
adalah Tuhan.”
Dengan gelitik tawanya seraya berkata,
“Aku melihatmu berbeda. Menunjukkan keseriusan tanpa
ada hal yang memaksa. Keikhlasanmu adalah kerelaanmu ketika apa yang kau bayangkan
tak seusai jalan pikiran yang aku putuskan. Menerima segala kemungkinan yang
terjadi. Terlebih kemungkinan itu adalah aku tak mempunyai rasa padamu. Tapi yakinlah,
dari sekian waktu, kita bersama, dan kau tanpa angkuh mencoba mengambil hati ini.
Ya itu yang aku suka, kau punya cara tersendiri untuk membuat wanitamu bahagia.
Tolong jaga aku, pegang erat awal pertemuan kita dahulu, karena kita tak akan
tahu, kapan perpisahan itu datang atau kita akan tetap bersama seterusnya.”
Aku tertegun, aku tak punya banyak kata untuk
diungkapkan lagi.
“Baiklah, biar aku pegang janji ini. Dan silahkan
kau melihat bagaimana perasaanku bagaimana bisa membuatmu kagum dan tak mau
kehilangan.”
“Boleh. Aku menunggu.” Tantangnya dengan senyuman
hangat padaku.
Inilah khayalku. Cuplikan perjalanan yang kedepannya
aku alami. Dan aku tak akan mudah surut semangat dan mencoba sebisa. Karena aku
adalah pengagummu, berhasrat kita berdua akan menjadi “saling menyayangi”.
0 comments:
Post a Comment