Tuesday, July 23, 2013

Bisikan Yang Mengingatkan




Ia dan sendirinya adalah bagian yang tak terpisahkan, ketika kau tanpa kejelasan meninggalkan ia mengantung harapan. Perpisahan itu membunuh. Dulu kalian saling mencinta dan merajut asa bersama, sekarang memiliki dunia yang dijalani dengan sendiri. Ia belum bisa mengikhlaskan, dia masih menggantung pada harap. Sulitnya memutar waktu yang ia rasakan ketika menghapus kenangan. Jejak-jejak kecil kehadiranmu masih menggema dalam pikirnya. Namamu terus menggaung, kelopak matanya tak sanggup membendung air mata.

Dia terlalu ringkih dalam bermimpi. Berpikirlah ia sebelum mengikhlaskan kepergianmu. Apakah dengan ini menjadi sebagian cerita dalam hidupnya yang sulit untuk dilupakan. Ia yang pernah denganmu merajut asa, dalam rentang waktu merelakan, ia akan terus menyebut namamu dalam rangkai doanya agar kau mendapat bahagia yang kau inginkan, bukan bersamanya.

Ia bukan wanita tegar, dalam tegaknya, ia mati. Yang dipikiran ia hanya potongan kecil kenangan bersamamu. Ia ingin sekali bertanya, apakah disetiap penggal harimu ada ia yang kau rindu?

Jika bahagiamu didapat tanpa adanya ia, jangan pernah merugi ketika kau jenuh pada hidupmu, mendapati ia yang bahagia dalam sendirinya. Sendirinya yang kosong, disanalah mimpinya bersegmentasi. Hampanya dalam kosong yang menghangatkan kulitnya. Dia yang menangis, dia yang tertawa hanya terbiasa dalam kaca di ruang kosongnya. Bersyukurlah kamu pernah memilikinya. Yang pernah ia rela mengorbankan diri, membantai waktu dalam kesedihan dan terus menyanjung namamu dierat tangan dan di hamparan pipi yang basah karena terus merindu.

Ia belum memilih jalannya. Ia terlalu kikuk menilai dalam setiap kemungkinan. Karena ia hanya tak mau kecewa dan mati dalam harapan. Bahkan ia tak bisa apa-apa. Sejenak ingin terlelap dari riuh penantian. Pasrahnya, ia selalu terjaga ketika rindu menghampiri. Hadirmu yang ia tunggu. Ia masih mengingat janjimu. Yang dulu kau katakan ketika ia penuh harap, bahwa jika kebahagianmu adalah secarik kertas. Maka ada namanya yang tertulis di atasnya.

Ia hanya membingkai diri. Hidupnya masih panjang. Garis lurus mengusut. Sesaat ia tiba di persimpangan, disanalah ia tahu bahwa hidup penuh pilihan. Dalam haru, terkahir katanya adalah “Lengkapilah hidupmu dengan apa-siapa yang bagimu sempurna, dalam kurangku memenuhi, kepadamu hanya doaku yang menyertai.”

Kepada angin, bisikan ini mengingatkanku kembali.

0 comments:

Post a Comment